Pendahuluan
Globalisasi adalah suatu kata yang mungkin paling banyak dibicarakan orang dalam waktu lima tahun terakhir ini, dengan pemaknaan yang beragam. Namun, apa yang dipahami sebagai istilah globalisasi akhirnya membawa kesadaran membawa kesadaran bagi semua penghuni planet ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja satu sama lain walau ada rentang jarak yang secara fisik membentang. Dunia dipandang sebagai satu kesatuan dimana semua manusia di muka bumi ini terhubung satu sama lain.
Waters (1995) mengemukakan definisi globalisasi sebagai suatu proses sosial dimana terdapat perlawanan secara geografis pada kemunduran perubahan social dan kebudayaan. Teori globalisasi diletakkan pada kehadiran pembangunan ilmu social. Faktor industrialisasi memegang peranan penting dalam pembahasan globalisasi.[1]
Pembicaraan mengenai globalisasi adalah pembicaraan mengenai topik yang amat luas yang meliputi aspek mendasar kehidupan manusia dari budaya, politik, ekonomi dan sosial. Konsep globalisasi adalah suatu obyek yang nyata untuk ideologi karena seperti modernisasi yang muncul sebagai pembenaran dari penyebaran kebudayaan barat dan kapitalis. Ide-ide globalisasi akhirnya mengerucut kepada konsep pembangunan. Dengan bahasa lain dikatakan bahwa globalisasi adalah konsekuensi dari ekspansi penyebaran kebudayaan eropa yang dipaksakan kepada dunia ketiga.
Tulisan ini mencoba memberikan beberapa pertanyaan yaitu pertama bagaimana implikasi globalisasi terhadap realitas politik di negara-negara dunia ketiga. Kedua bagaimana implikasi globalisasi terhadap Indonesia, sebagai representasi dunia ketiga.
Globalisasi Politik
Globalisasi Politik
Analisis Daniel Bell (1995) mengenai globalisasi dalam pengantar bab V buku globalization, cukup menarik, bahwa negara menjadi sangat kecil untuk masalah kehidupan yang besar, dan terlalu besar untuk masalah kehidupan yang kecil.[2] Atau Ayu Utami (2001) mengungkapkan dalam Larung bahwa …
Malcolm (1995) menungkapkan bahwa ada lima ide dasar mengenai globalisasi. Ide-ide tersebut adalah kedaulatan negara, proses penyelesaian masalah, organisasi internasional, hubungan internasional dan budaya politik. Kelima ide tersebut berhubungan dengan dimensi material pada suatu peningkatan dan saling berhubungan diantara unit-unit ekonomi yang terpisah dari masyarakat.
Kedaulatan negara merupakan ide dari proses transformasi bentuk negara di dunia. Ide ini dimulai dari tingkatan non politik, hubungan antar masyarakat sampai kebutuhan untuk mengeksiskan sumberdaya di sebuah negara dan kemungkinan pergantian konsep pemerintahan. Peningkatan hubungan ekonomi dan kebudayaan antar negara mengurangi kekuasaan dan keaktifan pemerintah pada tingkat negara-bangsa dan pemerintahan. Sehingga pemerintah tidak dapat lagi menghegemoni pemikiran dan bentuk-bentuk perekonomian pada wilayahnya. Akhirnya instrumen-instrumen yang telah dibangun pemerintah menjadi tidak efektif.
Kekuatan demokrasi (yang dipahami sebagai kekuatan massa) memakai media partai sebagai corong pembelaan ideologinya. Partai sendiri mencoba untuk mengatur kesejahteraan anggota partainya masing-masing. Untuk itu perlu stabilitas politik yang mantap. Konsep stabilitas politik yang mantap, bukan hanya trade mark penganut Rostowian, fenomena negara-negara komunis pun menunjukkan hal yang serupa.[3] Sebagai langkah taktis maka negara telah membuat beberapa kerangka kebijakan.[4] Kebijakan tersebut dijabarkan oleh Waters (1995) menjadi pertama pembangunan kapasitas negara itu sendiri, sehingga pemberdayaan swasta menjadi sektor yang penting. Di titik ini negara hanya berperan untuk mancerdaskan masyarakatnya dengan melakukan pendidikan politik. Kedua tempat atau kekuasaan negara menjadi tersembunyi dibalik kekuasaan para birokrat. Ketiga intervensi dari negara cenderung merusak kestabilan dan mekanisme pasar. Keempat negara tidak mampu lagi memberikan kemanan seperti terorisme, sindikat obat-obatan, AIDS dan lingkungan. Kelima Dengan persekutuan internasional, negara menjadi lebih berbahaya dari keamanan. Hal ini membagi dunia kepada permusuhan dimana komitmen pengadaan teknologi militer mempunyai satu tujuan.
Globalisasi politik ini menjadikan negara mengalami disetisasi atau pelemahan negara. Kelompok pendukung negara mulai melokal. Komunitas perdagangan menjadi mengecil dan digantikan oleh kepentingan lokal dan menjadi inisiatif warga negara.
Akibat globalisasi, ada beberapa masalah yang dulu dianggap lokal menjadi masalah global. Isu masalah ini sangat sensitif dan krusial, sehingga sering kali mengundang intervensi dari suatu negara ke negara lain. Padahal setiap negara mempunyai hak yang absolut untuk menentukan otonomi dari suatu negara.
Masalah hak-hak manusia (atau disebut dengan etatocentric) akan membawa dan mengangkat kemampuan manusia untuk melawan kedaulatan negara. Pelembagaan etatosentrik dari legal secara politik sampai kepada ekonomi telah memberikan kesempatan kepada porsi nilai-nilai kemanusiaan dalam pembangunan. Dalam posisi ini negara harus tunduk kepada beberapa konvensi hak asasi manusia dan beberapa turunannya dalam konvensi hak PBB. Implikasinya, sebuah negara harus bersikap demokratis dan siap untuk merubah beberapa kebijakan yang melanggar etatosentrik. Internasionalisasi etatosentrik lebih cenderung mengambarkan keberpihakan politik negara maju kepada negara dunia ketiga.
Isu lingkungan hidup menggambarkan kecemasan dunia barat terhadap ‘perilaku’ negara dunia ketiga dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global, polusi, efek rumah kaca dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas politik negara maju dalam mengatur kebijakan politik dan ekonomi negara dunia ketiga. Sebuah bantuan (baca : hutang) luar negeri negara dunia ketiga, acap kali dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk demokratisasi tentunya) dengan versi negara investor. Standarisasi ini menjadikan negara dunia ketiga menjadi tidak independen dalam menentukan sikap politik negara masing-masing.
Isu lingkungan hidup menggambarkan kecemasan dunia barat terhadap ‘perilaku’ negara dunia ketiga dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global, polusi, efek rumah kaca dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas politik negara maju dalam mengatur kebijakan politik dan ekonomi negara dunia ketiga. Sebuah bantuan (baca : hutang) luar negeri negara dunia ketiga, acap kali dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk demokratisasi tentunya) dengan versi negara investor. Standarisasi ini menjadikan negara dunia ketiga menjadi tidak independen dalam menentukan sikap politik negara masing-masing.
Kebutuhan akan agenda dan masalah bersama di antara negara-negara di dunia mengerucut kepada ide untuk membentuk organisasi internasional. Konsensus dari organisasi internasional ini telah membawa kesadaran kolektif beberapa negara tehadap permasalahan yang dihadapinya. Sebuah pembangunan di kawasan akan berhadapan dengan perbedaan budaya, kebutuhan dan cara pandang suatu negara terhadap sikap sosial, politik, ekonomi, budaya sampai pertahanan dan kemanan. Komunitas professional juga mempunyai kebutuhan bersama terhadap ratifikasi traktat atau konvensi yang diberikan oleh PBB. Pada akhirnya, jaringan organisasi ini lebih mudah untuk digunakan dari pada kemampuan kekuatan diplomatik antara negara.
Fenomena cukup menarik ditunjukkan bahwa globalisasi politik berimplikasi pada model hubungan internasional, secara spesifik dengan globalisasi tiga dunia (kapitalis, sosialis maupun dunia ketiga) dapat bersatu. Perang dingin telah menjadi sejarah, dan kepentingan untuk membentuk dunia baru telah menjadi kepentingan bersama. Interpretasi dari analisis ini ditunjukkan Waters (1995). Pertama pembangunan liberalisasi demi menunjukkan meleburnya kekuatan super power (pasca Soviet). Kedua Kemenangan USA dalam perang dingin dan perang di Kuwait (dan terbaru di Afghan) merupakan kombinasi antara negara adi daya militeristik dengan negara yang kuat pendanaan. Ketiga kepentingan dunia yang multipolar telah berganti menjadi model hubungan internasional.[5]
Analisis budaya politik dibangun oleh Fukuyama (1992) dan Huntington (1991). Nilai dan budaya politik akhirnya mengerucut kepada kebutuhan akan kesamaan cara pandang dalam memahami hubungan antar negara. Implikasinya setiap negara kembali menguatkan tradisi nasionalnya agar tetap mampu bersaing dalam dunia global.
Soros (2001) menilai kekuatan budaya negara dan bangsa seperti etika confusian akan memenangkan pertarungan dalam globalisasi ini.[6] Namun pertarungan antara kepentingan pribadi dan kapitalis akan berhadapan dengan kepentingan bangsa atau kepentingan publik. Di sinilah perdebatan antara kapitalisme dan demokrasi.[7] Untuk itu perlu kombinasi yang kuat antara system kapitalisme dengan nilai demokrasi sebuah negara. Hegemoni negara adi daya yang akan memainkan peran ini.
Implikasi Globalisasi Politik Terhadap Negara Dunia Ketiga
Implikasi Globalisasi Politik Terhadap Negara Dunia Ketiga
Dalam kasus beberapa negara, terlihat bahwa globalisasi mau tidak mau akan membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap negara-negara di dunia ketiga. Masalah pembangunan adalah isu sentral dalam globalisasi. Perdebatan tentang globalisasi ini dapat dilihat dalam Giddens (1995), yaitu budaya politik sampai konsep keluarga.[8]
Dalam konteks budaya Giddens mencontohkan pergeseran tradisi karena modernisasi. Tradisi adalah hasil dari proses penciptaan manusia dimana faktor kekuasan sangat memegang peran terhadap perubahan tersebut. Para pemimpin, Kaisar, Raja bahkan pemuka agama menciptakan tradisi untuk membenarkan diri mereka sendiri dan membangun legitimasi bagi kekuasaannya.
Realitas dunia melahirkan beberapa kombinasi antara tradisi dengan ilmu pengetahuan. Banyak kasus seperti di India pada tahun 1995. Pada saat itu dibangun opini bahwa para dewa juga meminum susu implikasinya adalah pada hari itu dan hari kemudian terjadi sebuah fenomena dimana banyak orang yang mempersembahkan susu dihadapan patung atau gambar dewa-dewi. Teknologi dan pengaruh para pemuka agama menjadikan ketika fenomena pemberian susu menjadi sebuah tradisi baru.
Ada juga kasus, dimana tradisi tunduk terhadap modernisasi. Dalam kasus ini terjadi desakralisasi tradisi, sehingga tradisi menjadi sangat kering dan dikomersialisasikan. Tumbuhnya globalisasi yang memicu industrialisasi telah menghasilkan produk-produk tradisi menjadi ‘hanya’ sekedar oleh-oleh atau simbol kebudayaan suatu bangsa. Fenomena ini menjelaskan bahwa pertama tradisi hanyalah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan untuk membangun nasionalisme semu atau jati diri semu dari suatu bangsa. Kedua tradisi telah dikalahkan oleh kebutuhan negara untuk mendapatkan devisa yang besar dengan dalih ‘menjaga tradisi-tradisi luhur’ bangsa.
Desakralisasi ini menumbuhkan perilaku fundamentalisme dan pragmatisme. Dalam kacamata pragmatisme tradisi hanyalah suatu obyek untuk mengenalkan budaya bangsa terhadap dunia luar. Sedangkan fundamentalisme berusaha untuk menjaga nilai-nilai dari tradisi agar tidak tercabut dari akarnya. Fundamentalisme ini menghasilkan semangat puritan di beberapa tempat yang akhirnya menciptakan gerakan anti westernisasi.[9]
Dalam kebijakan dan teori ekonomi pembangunan, dapat dilihat implikasi teori pembangunan terhadap negara dunia ketiga atau negara-negara selatan.[10] Implikasi kebijakan pembangunan ini dapat dipetakan secara lebih mikro untuk ukuran benua. Negara-negara di Amerika Latin termasuk negara-negara yang memiliki hutang besar pada bank-bank internasional, kondisi ini disebabkan kebijakan penguasa yang tidak menghasilkan peningkatan kapasitas produktif. Negara-negara Amerika Latin lebih cenderung untuk berhadapan dengan kondisi internalnya sendiri, seperti masalah demokratisasi yang berhadapan dengan diktator militer. Setelah kediktatoran hancur, dilema baru datang yaitu kebijakan ekonomi yang tidak diikuti dengan kebijakan politik. Sehingga negara-negara ini membutuhkan “dokter” yang dapat menyembuhkan mereka, dokter itu adalah IMF.[11]
Implikasi dari industrialisasi membuat negara-negara di Afrika harus mengejar GNP dan devisa negara. Rostowian telah membuat syarat yaitu stabilisasi politik dan keamanan. Sehingga anggaran negara lebih banyak diutamakan dalam membangun kekuatan militer. Untuk itu banyak negara-negara di Afrika yang menggenjot industrialisasi dan mencoba membangun ketahanan pangan. Revolusi hijau telah membuat keberhasilan semu dalam peningkatan jumlah pangan. Keberhasilan dari industrialisasi dan modernisasi (plus stabilisasi) membuat negara-negara Afrika ‘berhasil’ dalam penggenjotan devisa. Namun, kondisi ini ternyata menyempitkan jumlah petani dan eksplorasi tanah. Industrialisasi dan modernisasi telah memakan korbannya kembali.[12]
Kasus di Asia banyak sekali permasalahan pangan dan hutang negara. Fenomena yang paling mendasar selain kedua masalah di atas adalah masalah etnis. Kasus etno politik seperti di Sri Lanka, Tibet, Kashmir dan Ambon telah menjadikan kasus ini menjadi akut. Paradigma pembangunan yang menjadi masalah dalam konteks ini adalah perubahan dari ekonomi non dinamis yang diregulasi dan diproteksi dimana keberpihakan penguasa pada salah satu etnis menjadikan sistem ekonomi tidak lancar. Kasus ini memicu disintegrasi sosial, sehingga dibutuhkan kembali identifikasi etnis, jati diri bangsa dan teritorial.[13]
ASEAN komponen organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara mempunyai hubungan politik, geografis dan budaya. Masalah etnis dan hutang negara telah menjadi maslaha bersama. Untuk kasus etnis terdapat maslaah antara etnis dengan penguasa negara, seperti etnis Pattani di Thailand, Moro di Filipina, Melayu dan India di Singapura, Jawa, Bugis di beberapa tempat dalam kawasan Indonesia. Penyikapan masalah hutang negara juga sangat berbeda. IMF sangat bermain kuat di Indonesia dan Thailand, padahal kesadaran arus bawah terhadap perilaku IMF yang merugikan negara ini sudah jelas.[14] Rejim Thailand yang baru sudah berani untuk mengungkapkan bahwa kebutuhan akan kembali ke identitas nasional dan menolak secara halus IMF.[15]
Malaysia dengan Mahathir sudah dengan tegas menolak IMF. Strategi yang dibangun oleh Malaysia adalah mengurangi pengeluaran negara sebesar 18 %, menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi dari 7 % menjadi 4-5 %, memperbesar dukungan terhadap industri kecil dan menengah, memproteksi invenstor dalam negeri untuk melakukan investasi di luar negeri, menggenjot pertumbuhan sektor pangan.[16] Keberanian Mahathir yang di dukung warga Malaysia dengan menolak MF dan Soros. Sehingga Soros menjadi sangat berang dan melakukan klarifikasi bahwa yang dibuatnya hanyalah sebuah bisnis semata dan tuduhan Mahathir tidak berdasar.[17] Soros juga meramalkan kejatuhan Mahathir dalam waktu dekat, walaupun sampai hari ini belum terjadi secara riil.
Implikasi Globalisasi Politik Terhadap Indonesia
Globalisasi politik telah masuk ke Indonesia. Kedaulatan negara hari ini menjadi sebuah wacana yang tidak akan pernah habis diperbincangkan. Disintegrasi nasional di beberapa tempat seperti Aceh, Poso, Ambon, lepasnya Timor Timur. Rekayasa politik global (factor ekstern) yang dikombinasikan dengan ekonomi membuat pemerintah Indonesia menjadi bulan-bulanan di dunia Internasional. Masalah HAM, AIDS, cyber crime (kejahatan siber), pengelolaan negara yang serba KKN, ketidakberanian menghadapi IMF. Kejatuhan pemerintahan Suharto pada tahun 1998 yang diikuti ketidakstabilan politik, menjadikan Indonesia merosot dari segi GNP, kemampuan pemerintah untuk mengelola kecerdasan bangsa dan yang paling fatal adalah krisis identitas dan jati diri bangsa.
Kebijakan otonomi daerah, agar daerah menjadi terberdayakan telah menjadi senjata makan tuan. Keinginan beberapa daerah untuk memerdekakan diri dan meminta otonomi seluas-luasnya dianggap mengganggu kedaulatan negara. Kematian Theys di Jayapura menjadi indicator bahwa pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi menjaga keselamatan diri warga negara. Pembantaian massal di Ambon, Poso, Aceh menjadi sebuah ironi dari keinginan negara yang hendak mewujudkan masyarakat madani dan supremasi hukum.
Proses penyelesaian masalah telah membuat kesadaran pemerintah dan warga negara agar mampu memanfaatkan lobi di dunia internasional. Namun, sampai hari ini Indonesia masih menjadi negara yang paling tidak stabil di kawasan ASEAN. Isu-isu lokal seperti pengelolaan hutan, pengelolaan hutang luar negeri menjadikan Indonesia momok di dunia Internasional baik di lingkungan LSM Internasional dan PBB.
Implikasi sangat teknis terjadi dalam sector kebijakan ekonomi dan perdagangan. Indonesia yangmenjadi negara eksportir nomor dua terbesar untuk karet mentah, ternyata tidak mampu untuk mengelola perdagangan karet mentah sampai barang jadi berupa ban mobil. Terjadi diskriminasi oleh negara barat terhadap Indonesia. Indonesia sampai hari ini tidak boleh mengimpor mesin pembuat bahan baku karet, sehingga untuk membuat ban mobil, Indonesia harus mengekspor dulu ke Inggris kemudian mengimpor lagi ban mobil dari Inggris.[18] Kebijakan untuk mendirikan pabrik pembuat bahan dasar seperti Texmaco dan pengaplikasian ekonomi kerakyatan mendapat tentangan dari IMF. IMF bahkan mengancam tidak akan memberikan bantuan hutang luar negeri, jika Indonesia masih memperbolehkan Texmaco beroperasi dan mencoba menggulirkan ekonomi kerakyatan.
Penutup
Penutup
Globalisasi politik ternyata hanya menguntungkan negara-negara pertama, atau negara kapitalis. Kebijakan politik negara-negara dunia ketiga, ternyata harus memenuhi standar dan kualifikasi dari negara-negara utara. Konsekuensinya, Indonesia sebagai negara berkembang harus meningkatkan kualitas bernegara dan berhati-hati agar tidak menjadi negara yang dimusuhi oleh dunia barat.
Keberanian Indonesia untuk menghadapi hegemoni barat hanyalah menjadi mimpi sampai pada hari ini. Sehingga keinginan Indonesia untuk melakukan pemerataan dalam pembangunan, menjadi tidak nyata. Pada gilirannya warga negara harus menghadapi nasib yang sangat tragis. 2003, pada masanya globalisasi, Indonesia harus menjadi negara jajahan baru kaum kapitalis dengan model penjajahan yang baru, penjajahan ekonomi dan penjajahan politik.
[1],[2],[4],[5] Waters, Malcolm 1995. Globalization. London : Key Ideas.
[3] Konsepsi Rostow dapat dibaca dalam The Stages of Economic Growth. Untuk pengaplikasian teori pembangunan dapat dilihat dalam Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta : LP3ES. Halaman 15-19.[6],[7],[17] Soros, George. 2001 (edisi terjemahan). Krisis Kapitalisme Global. Yogyakarta : Qalam. Halaman 164.[8] Giddens, Anthony. 2001 (Edisi Terjemahan). Runaway World.. Jakarta : Gramedia.
[9],[10] Hassan Hanafi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar